Kelompok ini sangat mudah dimanipulasi untuk mendukung atau menolak sesuatu
Jakarta (ANTARA) - Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Anita Wahid menyatakan bahwa polarisasi memunculkan kelompok yang rentan terhadap hoaks dan propaganda."Kelompok ini sangat mudah dimanipulasi untuk mendukung atau menolak sesuatu," kata Anita Wahid ketika memberi paparan dalam konferensi daring bertajuk "Arah dan Tantangan Demokrasi dan Masyarakat Sipil", Selasa.
Kelompok-kelompok yang terlibat dalam polarisasi cenderung menutup mata dan telinga pada fakta-fakta yang bertentangan dengan keyakinan dari masing-masing kelompok. Selain itu, mereka juga lebih mudah memercayai apa yang diucapkan oleh pemegang opini kunci (key opinion) di dalam kelompok masing-masing.
Anita menambahkan bahwa masing-masing kelompok melihat perbuatan mereka dilandasi oleh rasa kecintaan terhadap bangsa Indonesia, dan apa yang dilakukan oleh kelompok lain dilandasi oleh kebencian. Pemikiran tersebut mengakibatkan munculnya konsep ‘kami melawan mereka’ dalam masyarakat yang terpolarisasi.
"Selama narasi yang diusung tidak sesuai dengan our narration (narasi kami), maka you’re part of them (kamu adalah ‘bagian dari mereka’),” tutur putri dari Presiden Keempat Indonesia Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini.
Dalam masyarakat yang telah terpolarisasi, narasi menjadi kekuatan bagi masing-masing kelompok untuk membenarkan pendapat mereka dan memberi serangan kepada kelompok yang bertentangan. Anita membagi fenomena ini menjadi dua, yakni amplifikasi narasi dan serangan terhadap narasi.
Baca juga: Mereka yang tidak kenal lelah menghalau hoaks selama pandemi
Baca juga: Kominfo terus gencarkan literasi digital untuk lawan hoaks
"Amplifikasi narasi (bertujuan, red) untuk memperkuat justifikasi masing-masing pihak," ucapnya.
Adapun instrumen yang digunakan dalam amplifikasi narasi adalah bots, buzzer, influencers, microtargeting, manipulasi media, dan hoaks. Instrumen-instrumen tersebut, khususnya bots dan buzzer, digunakan untuk menciptakan suasana seolah terdapat volume dukungan yang tinggi pada isu tertentu.
"Kita perlu menahan diri sedikit untuk tidak menuduh orang lain sebagai buzzer," tutur Anita mengingatkan.
Berdasarkan hasil pengamatan Anita, justru jumlah buzzer tidak terlalu banyak. Justru, lebih banyak orang-orang yang terjebak dalam polarisasi yang melakukan pembelaan maupun mengajukan kritik dalam peperangan di media sosial.
Anita mengatakan, mereka, pengguna media sosial yang aktif dalam mengkritik atau membela pemerintah, melakukan hal tersebut tanpa dibayar oleh pihak manapun, dan murni untuk membela pihak yang mereka anggap benar.
"Mereka berpikir bahwa mereka melakukan sesuatu yang mulia untuk kebaikan bangsa," ucapnya.
Kategori kedua adalah serangan terhadap narasi. Serangan tersebut dapat berada dalam bentuk troll, kampanye hitam, memberi label pada suatu isu sebagai kabar hoaks, mengalihkan isu, doxing, cancelling and punishing, intimidasi, pengambilalihan akun, penyerangan berbasis gender, persekusi, UU ITE, dan lain-lain.
Baca juga: Mafindo: Masyarakat rukun buat hoaks tidak mudah beredar
Serangan tersebut bertujuan untuk memadamkan isu yang diangkat oleh kelompok lain, atau membuat kelompok lain tidak berani mengutarakan pendapatnya.
"Khususnya penggunaan hoaks dalam bentuk labelling suatu isu. Ini merupakan senjata agar isu diredam," kata Anita.
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Chandra Hamdani Noor
COPYRIGHT © ANTARA 2021
0 comments:
Post a Comment