Jakarta (ANTARA) - Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengatakan eksistensi buzzer (pendengung) yang semakin meningkat dalam proses kebijakan publik memicu kemunculan pertarungan narasi yang tidak sehat.
Adnan saat berbicara dalam webinar "Buzzer dalam Pusaran The Colosseum of Rome”, Jakarta, Kamis, mengatakan narasi yang tidak sehat adalah narasi yang ditekankan pada pembentukan opini publik tanpa melibatkan perdebatan publik yang sehat.
Adnan menjelaskan perdebatan publik yang sehat, khususnya di media sosial, seharusnya berbasis data, bersifat ilmiah, berdasarkan bukti yang ada, dapat diukur, objektif, melibatkan keahlian spesifik, dan berbasis data.
Baca juga: LHKP PP Muhammadiyah sebut buzzer merupakan efek demokratisasi
Kebanyakan buzzer menggiring opini publik terhadap berbagai isu yang didominasi kebijakan publik dan kepentingan politik dengan membidik sisi emosional personal dan sentimentil para pengguna media sosial. Dengan demikian, mereka akan lebih cepat mendapatkan simpati dan dukungan.
“Buzzer bisa mengemas sedemikian rupa informasi sehingga hal-hal yang ilmiah tidak relevan lagi dalam konteks kebijakan publik,” kata Adnan.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro Wijayanto, saat membuka webinar, mengatakan buzzer merupakan pengguna akun fiktif di media sosial yang memengaruhi opini publik terkait isu tertentu.
Fenomena kemunculan buzzer sering digunakan untuk melakukan kampanye, entah itu produk, politik di media sosial, bahkan untuk menggiring opini publik.
Baca juga: Anggota DPR minta Lemhannas kaji munculnya "buzzer" politik
Dosen sekaligus Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) itu juga mengatakan keberadaan buzzer pernah memengaruhi beberapa kasus di Indonesia, seperti Pilpres 2019, revisi undang-undang KPK, Omnibus Law, dan pemilihan kepala daerah secara langsung di tengah pandemi. Penelitian itu dituangkan dalam artikel “The Threat of Cyber Troops” yang telah diunggah di laman Inside Indonesia.
Menurut Wijayanto, manipulasi oleh buzzer sebenarnya dapat dihindari dengan memperhatikan ciri-cirinya. Ciri-ciri yang utama adalah kemunculan banyaknya narasi berunsur isu serupa di media sosial. Maka, pengguna media sosial harus berhati-hati menyerap informasi dari narasi semacam itu.
Dalam diskusi yang dilatarbelakangi pesatnya pengaruh teknologi informasi dalam ekosistem sosial dan politik itu, Adnan Topan Husodo menyampaikan tidak semua buzzer berpihak pada kepentingan kekuasaan.
Ada pula buzzer yang menyuarakan isu positif secara konsisten. Mereka harus diajak untuk menggaungkan kebijakan publik yang tengah diperjuangkan.
Baca juga: Peneliti: Satu buzzer ber-"follower" lebih banyak punya pengaruh kuat
Adnan saat berbicara dalam webinar "Buzzer dalam Pusaran The Colosseum of Rome”, Jakarta, Kamis, mengatakan narasi yang tidak sehat adalah narasi yang ditekankan pada pembentukan opini publik tanpa melibatkan perdebatan publik yang sehat.
Adnan menjelaskan perdebatan publik yang sehat, khususnya di media sosial, seharusnya berbasis data, bersifat ilmiah, berdasarkan bukti yang ada, dapat diukur, objektif, melibatkan keahlian spesifik, dan berbasis data.
Baca juga: LHKP PP Muhammadiyah sebut buzzer merupakan efek demokratisasi
Kebanyakan buzzer menggiring opini publik terhadap berbagai isu yang didominasi kebijakan publik dan kepentingan politik dengan membidik sisi emosional personal dan sentimentil para pengguna media sosial. Dengan demikian, mereka akan lebih cepat mendapatkan simpati dan dukungan.
“Buzzer bisa mengemas sedemikian rupa informasi sehingga hal-hal yang ilmiah tidak relevan lagi dalam konteks kebijakan publik,” kata Adnan.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro Wijayanto, saat membuka webinar, mengatakan buzzer merupakan pengguna akun fiktif di media sosial yang memengaruhi opini publik terkait isu tertentu.
Fenomena kemunculan buzzer sering digunakan untuk melakukan kampanye, entah itu produk, politik di media sosial, bahkan untuk menggiring opini publik.
Baca juga: Anggota DPR minta Lemhannas kaji munculnya "buzzer" politik
Dosen sekaligus Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) itu juga mengatakan keberadaan buzzer pernah memengaruhi beberapa kasus di Indonesia, seperti Pilpres 2019, revisi undang-undang KPK, Omnibus Law, dan pemilihan kepala daerah secara langsung di tengah pandemi. Penelitian itu dituangkan dalam artikel “The Threat of Cyber Troops” yang telah diunggah di laman Inside Indonesia.
Menurut Wijayanto, manipulasi oleh buzzer sebenarnya dapat dihindari dengan memperhatikan ciri-cirinya. Ciri-ciri yang utama adalah kemunculan banyaknya narasi berunsur isu serupa di media sosial. Maka, pengguna media sosial harus berhati-hati menyerap informasi dari narasi semacam itu.
Dalam diskusi yang dilatarbelakangi pesatnya pengaruh teknologi informasi dalam ekosistem sosial dan politik itu, Adnan Topan Husodo menyampaikan tidak semua buzzer berpihak pada kepentingan kekuasaan.
Ada pula buzzer yang menyuarakan isu positif secara konsisten. Mereka harus diajak untuk menggaungkan kebijakan publik yang tengah diperjuangkan.
Baca juga: Peneliti: Satu buzzer ber-"follower" lebih banyak punya pengaruh kuat
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Joko Susilo
COPYRIGHT © ANTARA 2021
0 comments:
Post a Comment