Jakarta (ANTARA) - Anggota Komite I DPD RI Abraham Liyanto mengatakan DPD RI sedang membahas revisi UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, salah satu poinnya adalah dibentuknya Majelis Perdamaian Desa (MPD) yang bertugas mendamaikan perselisihan masyarakat.
Dia menilai selama ini lembaga-lembaga adat di desa hampir hilang perannya dalam menyelesaikan konflik masyarakat karena masalah kecil saja langsung dibawa ke polisi atau kejaksaan.
"Padahal lembaga adat di desa-desa selama ini punya cara sendiri dalam menyelesaikan masalah dan cepat prosesnya," kata Abraham Liyanto dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Dia menjelaskan, MPD disisipkan antara Pasal 68 dan Pasal 69 dan ada sembilan pasal yang mengatur lembaga itu yaitu Pasal 68 A hingga Pasal 68 I.
Menurut dia, MPD bersifat sementara (adhoc) yang diketuai Kepala Desa (Kades) dengan anggota dari pimpinan lembaga adat dan tokoh masyarakat, serta keanggotaan ditunjuk Kepala Desa.
"MPD menyelesaikan masalah dengan musyawarah untuk mendamaikan para pihak yang berselisih. Perselisihan bisa perorangan maupun kelompok yang terjadi di desa," ujarnya.
Baca juga: Waketu Komite I DPD RI Fernando Sinaga Minta Asosiasi Pemdes Dukung Perubahan Kedua UU Desa
Baca juga: DPD RI awasai implementasi UU Desa di DIY
Senator asal Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) itu menjelaskan, MPD menyelesaikan perselisihan sengketa keperdataan, pidana dan pelanggaran norma atau tradisi masyarakat.
Menurut dia, dalam menyelesaikan perselisihan, MPD harus memperhatikan pranata lokal tradisional yang masih berlaku dan diakui keberadaannya oleh masyarakat desa.
"MPD menyelesaikan masalah dalam waktu paling lama 14 hari kerja sejak permohonan dan laporan diterima," ujarnya.
Dia menjelaskan, setelah disepakati melalui MPD, perselisihan tidak dapat dilakukan proses hukum dan tidak dapat diajukan ke pengadilan. Namun menurut dia, jika tidak mencapai perdamaian, penyelesaian masalah dapat dilanjutkan melalui proses hukum yang ada.
"Anggota MPD berhak mendapatkan honorarium pertemuan yang diberikan berdasarkan kehadiran. Besaran honorarium ditetapkan oleh bupati/wali kota," tutur dia.
Baca juga: Teras Narang serap aspirasi elemen di Kalteng untuk evaluasi UU Desa
Abraham menilai keberadaan MPD yang diatur dalam revisi UU Desa merupakan langkah terobosan untuk menyelesaikan berbagai persoalan di desa.
Hal itu menurut dia dalam upaya mencegah agar masyarakat tidak gampang membawa persoalan ke aparat penegak hukum karena proses seperti itu sangat lama dan memakan waktu serta tenaga para pihak bersengketa.
Dia menilai selama ini lembaga-lembaga adat di desa hampir hilang perannya dalam menyelesaikan konflik masyarakat karena masalah kecil saja langsung dibawa ke polisi atau kejaksaan.
"Padahal lembaga adat di desa-desa selama ini punya cara sendiri dalam menyelesaikan masalah dan cepat prosesnya," kata Abraham Liyanto dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Dia menjelaskan, MPD disisipkan antara Pasal 68 dan Pasal 69 dan ada sembilan pasal yang mengatur lembaga itu yaitu Pasal 68 A hingga Pasal 68 I.
Menurut dia, MPD bersifat sementara (adhoc) yang diketuai Kepala Desa (Kades) dengan anggota dari pimpinan lembaga adat dan tokoh masyarakat, serta keanggotaan ditunjuk Kepala Desa.
"MPD menyelesaikan masalah dengan musyawarah untuk mendamaikan para pihak yang berselisih. Perselisihan bisa perorangan maupun kelompok yang terjadi di desa," ujarnya.
Baca juga: Waketu Komite I DPD RI Fernando Sinaga Minta Asosiasi Pemdes Dukung Perubahan Kedua UU Desa
Baca juga: DPD RI awasai implementasi UU Desa di DIY
Senator asal Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) itu menjelaskan, MPD menyelesaikan perselisihan sengketa keperdataan, pidana dan pelanggaran norma atau tradisi masyarakat.
Menurut dia, dalam menyelesaikan perselisihan, MPD harus memperhatikan pranata lokal tradisional yang masih berlaku dan diakui keberadaannya oleh masyarakat desa.
"MPD menyelesaikan masalah dalam waktu paling lama 14 hari kerja sejak permohonan dan laporan diterima," ujarnya.
Dia menjelaskan, setelah disepakati melalui MPD, perselisihan tidak dapat dilakukan proses hukum dan tidak dapat diajukan ke pengadilan. Namun menurut dia, jika tidak mencapai perdamaian, penyelesaian masalah dapat dilanjutkan melalui proses hukum yang ada.
"Anggota MPD berhak mendapatkan honorarium pertemuan yang diberikan berdasarkan kehadiran. Besaran honorarium ditetapkan oleh bupati/wali kota," tutur dia.
Baca juga: Teras Narang serap aspirasi elemen di Kalteng untuk evaluasi UU Desa
Abraham menilai keberadaan MPD yang diatur dalam revisi UU Desa merupakan langkah terobosan untuk menyelesaikan berbagai persoalan di desa.
Hal itu menurut dia dalam upaya mencegah agar masyarakat tidak gampang membawa persoalan ke aparat penegak hukum karena proses seperti itu sangat lama dan memakan waktu serta tenaga para pihak bersengketa.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Chandra Hamdani Noor
COPYRIGHT © ANTARA 2021
0 comments:
Post a Comment