Jakarta (ANTARA) - Babak terbaru dalam menyambut kelahiran ibu kota negara Indonesia di Kalimantan Timur telah tiba pada pemberian nama yang dipilihkan oleh pemerintah, yaitu Nusantara.

Tentu saja, kata Nusantara tidaklah asing bagi segenap bangsa Indonesia sebagaimana yang dijelaskan Dosen Sastra Jawa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Rudy Wiratama Partohardono saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Selasa.

Menurutnya, istilah Nusantara telah digaungkan sejak zaman Kerajaan Singasari, namun dalam bentuk lain, yakni Dwipantara.

Sekitar tahun 1275, sosok Raja Singasari Kertanegara memperkenalkan konsep Cakrawala Mandala Dwipantara. Berdasarkan bahasa Sansekerta, Dwipantara memiliki makna yang persis dengan Nusantara.

"Dwipa" berarti pulau dan "antara" berarti di luar sebagaimana Nusantara dengan "nusa" berarti pulau dan "antara" berarti di luar. Dwipantara diartikan sebagai kepulauan di tanah seberang.

Kertanegara mengusung konsep Cakrawala Mandala Dwipantara untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan Kepulauan Tanah Seberang di bawah kewibawaan Singasari demi mencegah ancaman dari Bangsa Mongol yang hendak membangun Dinasti Yuan di Tiongkok. Dengan kata lain, Kartanegara pun bercita-cita menyatukan Jawa dan Dwipantara (Nusantara/Kepulauan Tanah Seberang) untuk melawan ancaman itu.

Meskipun pada awalnya konsep itu dianggap sebagai upaya penaklukan militer, lambat laun ekspedisi melalui Cakrawala Mandala Dwipantara justru memperlihatkan upaya diplomatik berupa kekuatan dan kewibawaan guna menjalin persahabatan dan persekutuan antara Singasari dan kerajaan-kerajaan tersebut.

Baca juga: Menteri PPN umumkan Nusantara jadi nama ibu kota baru

Baca juga: Kepala Bappenas jelaskan makna kata Nusantara sebagai nama IKN


Upaya bersifat diplomatik itu dibuktikan melalui pemberian arca Amoghapasa dari Kertanegara sebagai hadiah untuk menyenangkan para penguasa dan rakyat Melayu yang masuk ke dalam ekspedisi Cakrawala Mandala Dwipantara. Untuk membalas kebaikan tersebut, Raja Melayu mengirimkan Putri Dara Jingga dan Dara Petak untuk dinikahkan dengan penguasa Jawa.

Nusantara dalam pandangan Gajah Mada
Kemudian, seperti yang disampaikan Arkeolog Universitas Indonesia dalam buku Gajah Mada: Biografi Politik, Gajah Mada meneruskan gagasan politik Dwipantara melalui Sumpah Palapa tahun 1336.

Dalam sumpah tersebut, Gajah Mada menyebutkan istilah Nusantara yang dapat dipahami secara spesifik merujuk pada semua kepulauan yang hendak dikuasai oleh Majapahit. Wilayah itu menjangkau bagian luar daerah pemerintahan mereka.

Dalam buku Mohammad Yamin yang berjudul Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara, disebutkan bahwa Nusantara yang berhasil dikuasai Majapahit meliputi seluruh Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Melayu, Nusa Tenggara, Bali, Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Selanjutnya, saat Majapahit dihadapkan pada era keruntuhan, istilah Nusantara pun kehilangan gemanya dan seolah terlupakan oleh masyarakat. Namun ketika memasuki abad ke-20, Ki Hajar Dewantara kembali memperkenalkan Nusantara. Akan tetapi, bukan merupakan Nusantara yang merujuk pada pulau terluar untuk dikuasai, melainkan sebagai alternatif penyebutan Hindia Belanda hingga sekarang cenderung digunakan sebagai padanan kata Indonesia, negara yang terdiri atas pulau-pulau.

Dari sejarah itu, dapat dipahami bahwa beberapa perubahan makna telah terjadi dari waktu ke waktu, mulai dari pulau-pulau terluar yang hendak ditaklukkan hingga sebuah kepulauan yang telah dipersatukan.

Nusantara bebas dari unsur etnis tertentu
Kini, Nusantara kembali menjadi perbincangan hangat di antara masyarakat sejak dipilih oleh pemerintah menjadi nama ibu kota negara yang baru.

Beragam opini mulai bermunculan menanggapi usulan nama tersebut. Untuk itu, wawasan dalam mengenal istilah Nusantara secara lebih mendalam menjadi penting dimiliki guna mencegah timbulnya polemik di tengah masyarakat Indonesia, terlebih terkait pandangan yang mengarahkan Nusantara mewakili etnis tertentu.

Meskipun istilah Nusantara akrab diketahui sebagai cara pandang Jawa melalui kekuasaan kerajaan Majapahit, nyatanya asal usul bahasa yang dipergunakan dalam pandangan Rudy Wiratama tidak merujuk pada unsur etnis tertentu.

Menurutnya, Nusantara berasal dari bahasa Kawi dan Sansekerta yang dahulu umum digunakan oleh masyarakat. Terutama bahasa Kawi, bahasa itu digunakan di wilayah Melayu, Jawa, Bali, bahkan Vietnam serta Malaysia.

"Kata 'nusa' itu dari bahasa Kawi, ‘antara’ itu dari bahasa Sansekerta. Kedua bahasa ini memang berkaitan erat. Pada dasarnya, kalau kita berangkat dari sejarah bahasa Kawi itu di Melayu, Jawa, Bali, bahkan di Vietnam dan Malaysia itu ada juga bahasa Kawi yang digunakan untuk membedakan dengan bahasa sehari-hari. Seperti sekarang, ada bahasa Indonesia berdasarkan PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia) dan ada bahasa sehari-hari," jelas Rudy.

Dengan demikian, kata dia, Nusantara yang dikatakan mengarah pada etnis tertentu merupakan pandangan yang kurang tepat.

Baca juga: Suharso Monoarfa: Ibu Kota Negara bernama Nusantara

Baca juga: Panja RUU IKN setujui Nusantara sebagai nama Ibu Kota Negara


Berdasarkan jalan panjang yang telah dilalui istilah Nusantara untuk hidup di tengah masyarakat itu, Rudy Wiratama memandang sudah sepatutnya kata tersebut tidak dipahami oleh masyarakat secara sempit.

Menurutnya, kata Nusantara yang dipilih sebagai nama ibu kota negara baru Indonesia bermakna luas sehingga masyarakat diharapkan tidak terburu-buru menyimpulkan maksud pemilihannya.

Rudy pun yakin bahwa Presiden Joko Widodo beserta jajarannya memiliki pertimbangan mendalam mencakup konsep, visi, serta misi untuk memilih nama Nusantara itu.

Lebih lanjut, ia pun mengatakan bahwa setiap nama tentu saja memiliki harapan dari masing-masing pemberi nama, begitu pula dengan penamaan menggunakan Nusantara. Dari berbagai harapan itu, diharapkan pemilihan nama Nusantara bermuara dari tujuan untuk mempersatukan pulau-pulau yang berjarak di Indonesia.

Oleh Tri Meilani Ameliya
Editor: Chandra Hamdani Noor
COPYRIGHT © ANTARA 2022