Jakarta (ANTARA) - Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan menegaskan Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 merupakan aturan yang bermasalah karena menghambat pemenuhan kuota 30 persen keterwakilan perempuan sebagai calon anggota legislatif di tingkat daerah pemilihan.

Oleh karena itu, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (MPKP) yang terdiri atas sejumlah praktisi, organisasi masyarakat sipil, dan para ahli menilai pernyataan sejumlah anggota DPR yang berpendapat Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tidak perlu direvisi itu menyesatkan publik.

"Masalahnya besar sekali, kalau dikatakan tidak ada masalah, karena pengaturan di dalam PKPU ini melanggar UU Pemilu, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, dan undang-undang yang lain dan konstitusi kita," kata anggota MPKP Hadar Nafis Gumay saat ditemui selepas mendaftarkan uji materi Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10/2023 di Mahkamah Agung, Jakarta, Senin.

Tidak hanya bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu, kata Hadar Nafis Gumay, pasal tersebut juga menurunkan kualitas pemilihan umum di Indonesia.

"Berdasarkan undang-undang tadi, berdasarkan konstitusi, sebetulnya memberikan perlindungan atau lebih tepatnya ruang partisipasi yang lebih besar terhadap perempuan, calon anggota legislatif (caleg) perempuan dalam pemilu, atau dunia politik kita. Jadi, ini persoalan yang sangat serius," kata Hadar yang pernah sebagai anggota KPU RI periode 2012—2017.

Baca juga: Koalisi masyarakat sipil ajukan JR Pasal 8 ayat 2 PKPU No.10/2023
Baca juga: Titi: MA bisa prioritaskan permohonan uji materi PKPU


Dalam kesempatan yang sama, anggota Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan lainnya, Wahidah Suaib, juga menilai pernyataan yang menyebut kuota 30 persen keterwakilan perempuan telah terpenuhi itu tidak sesuai dengan isi undang-undang.

"Aturan keterwakilan 30 persen itu bukan rata-rata nasional seperti statement oleh anggota DPR maupun diikuti Bawaslu, dan juga saat ini diikuti oleh KPU statement itu, tetapi ini per dapil (daerah pemilihan)," kata Wahidah yang tergabung sebagai pemohon uji materi Pasal 8 ayat (2) PKPU No. 10/2023 bersama Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan ke Mahkamah Agung.

Wahidah menjelaskan bahwa dirinya merupakan salah satu pegiat pemilu yang mengadvokasi kuota 30 persen keterwakilan perempuan sebagai calon anggota legislatif.

"Dahulu kami berjuang, memperjuangkan undang-undang ini, sejak 2003 berjuang agar makin banyak perempuan yang menjadi pemimpin di legislatif untuk membawa aspirasi-aspirasi untuk pemberdayaan, kesejahteraan, antikekerasan terhadap perempuan, untuk keadilan. Akan tetapi, kemudian dengan adanya PKPU tersebut, itu berpotensi tidak mencapai 30 persen," kata Wahidah.

Oleh karena itu, dia meminta anggota DPR, anggota KPU, dan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk mencermati lagi dampak dari berlakunya Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10/2023.

"Ini belum tentu terpenuhi kuota 30 persen. Mari kita cek per daerah pemilihan apakah itu terpenuhi atau tidak, sangat salah kalau kemudian aturan syarat (dilihat dari) rata-rata nasional," kata dia.

Baca juga: Hindari produk hukum kepemiluan yang timbulkan pro dan kontra
Baca juga: Keharmonisan aturan kepemiluan harus tetap dijaga


MPKP terdiri atas Perludem, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Hadar Nafis Gumay, Titi Anggraini, dan Wahidah Suaib, serta beberapa ahli mendaftarkan permohonan uji materi Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 ke Mahkamah Agung, Jakarta, Senin.

Dalam permohonannya, mereka meminta Mahkamah Agung menyatakan aturan itu bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, serta menetapkan aturan itu tidak mengikat secara hukum.

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: D.Dj. Kliwantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2023