Oleh Indriani Kamis, 3 Agustus 2023 06:58 WIB
Jakarta (ANTARA) - Pimpinan Pondok Pesantren Al Zaytun Panji Gumilang menggugat Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan juga Wakil Ketua Umum MUI Buya Anwar Abbas secara perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada awal Juli 2023.
Panji Gumilang menggugat MUI dan Anwar Abbas lantaran pernyataannya yang melontarkan tuduhan komunis hanya berdasarkan potongan video yang beredar di media sosial. Dalam pernyataannya, Anwar Abbas mengaku mendengar Panji Gumilang mendeklarasikan dirinya sebagai seorang komunis melalui media sosial TikTok. Oleh karena itu, Anwar mengaku perlu membela kehormatan bangsa dan negara.
Belakangan diketahui bahwa konten tersebut merupakan hasil penyuntingan. Terlepas dari apapun, kasus ini menarik untuk diperhatikan, Perkembangan teknologi yang semakin pesat membuat media sosial semakin tak bisa lepas dari kehidupan kita. Bahkan, dalam kasus Panji Gumilang vs Anwar Abbas, konten yang dibuat pada pelantar media sosial TikTok tersebut dijadikan rujukan.
Padahal, kita tahu bersama bahwa di media sosial dikenal istilah produsen consumer (prosumer), yang bermakna setiap orang bisa memproduksi konten dan juga dapat mengonsumsinya.
Istilah prosumer sendiri dilontarkan oleh Marshall McLuhan dan Barnington dalam bukunya Take Today pada 1972, yang menyebutkan bahwa setiap konsumen di bidang listrik rumah tangga dapat menjadi produsen seiring dengan munculnya energi terbarukan.
Pada 1980, Alvin Toffler dalam bukunya The Third Wave juga menggunakan istilah prosumer dengan menggabungkan produsen dan konsumen. Pada masa itu, Toffler kemudian memperkirakan bahwa peran produsen dan konsumen akan bergabung pada masa yang akan datang.
Kembali lagi pada media sosial yang membuat seseorang dapat menjadi prosumer, maka tak heran kini semakin banyak konten kreator yang tumbuh subur. Bahkan banyak anak kecil yang memiliki cita-cita menjadi konten kreator saat dewasa.
Setiap orang memiliki kebebasan dalam memproduksi, merespons, bahkan menyebarkan informasi sesuai dengan keinginannya. Namun perlu diingat bahwa media sosial berbeda dengan media massa, yang disiplin melakukan verifikasi. Media massa seperti kita kenal bersama juga memiliki hukum dan etika yang menaunginya. Ada UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, serta memiliki etika yang dikenal dengan Kode Etik Jurnalistik.
Media sosial pun sebenarnya memiliki panduan, yakni Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan penyempurnaannya melalui Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang- Undang No.11 Tahun 2008 Tentang ITE, yang mencegah seseorang mendistribusikan konten yang merugikan orang lain. Akan tetapi masih ada sebagian masyarakat belum memahami terkait konsekuensi dari UU tersebut.
Demi mendapatkan interaksi dari pengguna, terkadang ada konten kreator mengabaikan kebenaran dan membuat konten yang sensasional. Selain itu, juga sulit mengawasi media sosial secara menyeluruh.Kondisi itu rentan menyebabkan terjadinya gangguan informasi. Apalagi jika ditambah dengan rendahnya literasi dan juga kemampuan berpikir kritis.
Menurut Wardle dan Derakhshan (2017), terdapat tiga jenis gangguan informasi, yakni misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Disinformasi merupakan penyebaran informasi palsu atau menyesatkan yang disengaja dan disebarkan dengan maksud untuk menipu. Misinformasi adalah informasi yang mungkin salah, tetapi tidak disebarkan dengan sengaja. Sementara itu, Malinformasi, yakni informasi asli dibagikan untuk menyebabkan kerugian, seringkali dengan memindahkan informasi yang dirancang untuk tetap pribadi ke ruang publik.
Perbedaan antara disinformasi dan misinformasi terletak pada niat dari penyebarnya. Disinformasi disebarkan secara sengaja dengan niat jahat atau bertujuan untuk menyesatkan, mengacaukan maupun mempengaruhi opini publik. Biasanya disinformasi atau yang kita kenal dengan istilah hoaks banyak disebarkan pada situasi tertentu, seperti pemilihan umum maupun krisis. Momentum Pemilihan Umum 2024 juga perlu diwaspadai masifnya penyebaran disinformasi.
Mungkin masih ingat, pada Maret lalu saat mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dihadapkan dengan dakwaan kasus uang tutup mulut, saat itu pula muncul foto hasil pemprosesan kecerdasan buatan atau AI yang memperlihatkan Donald Trump ditangkap polisi.
Sementara itu, misinformasi disebarkan tidak dengan niat jahat. Bisa saja yang menyebarkan berniat baik dan bertujuan untuk memberi informasi, namun sayangnya informasi yang dibagikan tidak akurat atau salah.
Oleh karena itu, media sosial belum bisa dijadikan rujukan utama apalagi informasi yang belum dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya. Tentu saja berbeda jika dibandingkan informasi yang didapatkan di media massa yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya karena melalui proses verifikasi.
Apalagi ke depan, tantangan dalam menghadapi gangguan informasi semakin berat dengan kehadiran teknologi AI. Deteksi disinformasi semakin sulit seiring dengan penyebaran disinformasi yang semakin canggih dan beragam.
Selain perlunya pencerahan dan tuntunan dari pemerintah atau pemangku kepentingan terkait konten-konten yang bersifat menyesatkan, masyarakat juga perlu dibekali dengan literasi media yang memiliki makna kemampuan seseorang untuk dapat secara kritis menganalisis pesan-pesan media, dan dapat menggunakan pesan di media tersebut untuk pemberdayaan individu. Dengan demikian diharapkan mampu mengidentifikasi dan mencegah penyebaran hoaks.
Kemampuan berpikir kritis yang merupakan bagian dari literasi media harus diasah sejak dini. Kemampuan berpikir kritis memiliki makna kemampuan untuk dapat membuat penilaian-penilaian yang masuk akal. Selain itu, sikap skeptis yang positif atau meragukan sebagai bagian dari berpikir kritis juga perlu untuk dilestarikan.
Dengan demikian, seberat apapun tantangan gangguan informasi karena perkembangan teknologi yang semakin canggih, diharapkan masyarakat semakin cerdas dan dapat dengan mudah mengenali gangguan informasi. Tentu saja tidak mudah percaya dengan konten-konten di media sosial yang belum terverifikasi kebenarannya, apalagi menyebarkan informasi yang belum tentu kebenarannya.
Panji Gumilang menggugat MUI dan Anwar Abbas lantaran pernyataannya yang melontarkan tuduhan komunis hanya berdasarkan potongan video yang beredar di media sosial. Dalam pernyataannya, Anwar Abbas mengaku mendengar Panji Gumilang mendeklarasikan dirinya sebagai seorang komunis melalui media sosial TikTok. Oleh karena itu, Anwar mengaku perlu membela kehormatan bangsa dan negara.
Belakangan diketahui bahwa konten tersebut merupakan hasil penyuntingan. Terlepas dari apapun, kasus ini menarik untuk diperhatikan, Perkembangan teknologi yang semakin pesat membuat media sosial semakin tak bisa lepas dari kehidupan kita. Bahkan, dalam kasus Panji Gumilang vs Anwar Abbas, konten yang dibuat pada pelantar media sosial TikTok tersebut dijadikan rujukan.
Padahal, kita tahu bersama bahwa di media sosial dikenal istilah produsen consumer (prosumer), yang bermakna setiap orang bisa memproduksi konten dan juga dapat mengonsumsinya.
Istilah prosumer sendiri dilontarkan oleh Marshall McLuhan dan Barnington dalam bukunya Take Today pada 1972, yang menyebutkan bahwa setiap konsumen di bidang listrik rumah tangga dapat menjadi produsen seiring dengan munculnya energi terbarukan.
Pada 1980, Alvin Toffler dalam bukunya The Third Wave juga menggunakan istilah prosumer dengan menggabungkan produsen dan konsumen. Pada masa itu, Toffler kemudian memperkirakan bahwa peran produsen dan konsumen akan bergabung pada masa yang akan datang.
Kembali lagi pada media sosial yang membuat seseorang dapat menjadi prosumer, maka tak heran kini semakin banyak konten kreator yang tumbuh subur. Bahkan banyak anak kecil yang memiliki cita-cita menjadi konten kreator saat dewasa.
Setiap orang memiliki kebebasan dalam memproduksi, merespons, bahkan menyebarkan informasi sesuai dengan keinginannya. Namun perlu diingat bahwa media sosial berbeda dengan media massa, yang disiplin melakukan verifikasi. Media massa seperti kita kenal bersama juga memiliki hukum dan etika yang menaunginya. Ada UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, serta memiliki etika yang dikenal dengan Kode Etik Jurnalistik.
Media sosial pun sebenarnya memiliki panduan, yakni Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan penyempurnaannya melalui Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang- Undang No.11 Tahun 2008 Tentang ITE, yang mencegah seseorang mendistribusikan konten yang merugikan orang lain. Akan tetapi masih ada sebagian masyarakat belum memahami terkait konsekuensi dari UU tersebut.
Demi mendapatkan interaksi dari pengguna, terkadang ada konten kreator mengabaikan kebenaran dan membuat konten yang sensasional. Selain itu, juga sulit mengawasi media sosial secara menyeluruh.Kondisi itu rentan menyebabkan terjadinya gangguan informasi. Apalagi jika ditambah dengan rendahnya literasi dan juga kemampuan berpikir kritis.
Menurut Wardle dan Derakhshan (2017), terdapat tiga jenis gangguan informasi, yakni misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Disinformasi merupakan penyebaran informasi palsu atau menyesatkan yang disengaja dan disebarkan dengan maksud untuk menipu. Misinformasi adalah informasi yang mungkin salah, tetapi tidak disebarkan dengan sengaja. Sementara itu, Malinformasi, yakni informasi asli dibagikan untuk menyebabkan kerugian, seringkali dengan memindahkan informasi yang dirancang untuk tetap pribadi ke ruang publik.
Perbedaan antara disinformasi dan misinformasi terletak pada niat dari penyebarnya. Disinformasi disebarkan secara sengaja dengan niat jahat atau bertujuan untuk menyesatkan, mengacaukan maupun mempengaruhi opini publik. Biasanya disinformasi atau yang kita kenal dengan istilah hoaks banyak disebarkan pada situasi tertentu, seperti pemilihan umum maupun krisis. Momentum Pemilihan Umum 2024 juga perlu diwaspadai masifnya penyebaran disinformasi.
Mungkin masih ingat, pada Maret lalu saat mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dihadapkan dengan dakwaan kasus uang tutup mulut, saat itu pula muncul foto hasil pemprosesan kecerdasan buatan atau AI yang memperlihatkan Donald Trump ditangkap polisi.
Sementara itu, misinformasi disebarkan tidak dengan niat jahat. Bisa saja yang menyebarkan berniat baik dan bertujuan untuk memberi informasi, namun sayangnya informasi yang dibagikan tidak akurat atau salah.
Oleh karena itu, media sosial belum bisa dijadikan rujukan utama apalagi informasi yang belum dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya. Tentu saja berbeda jika dibandingkan informasi yang didapatkan di media massa yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya karena melalui proses verifikasi.
Apalagi ke depan, tantangan dalam menghadapi gangguan informasi semakin berat dengan kehadiran teknologi AI. Deteksi disinformasi semakin sulit seiring dengan penyebaran disinformasi yang semakin canggih dan beragam.
Selain perlunya pencerahan dan tuntunan dari pemerintah atau pemangku kepentingan terkait konten-konten yang bersifat menyesatkan, masyarakat juga perlu dibekali dengan literasi media yang memiliki makna kemampuan seseorang untuk dapat secara kritis menganalisis pesan-pesan media, dan dapat menggunakan pesan di media tersebut untuk pemberdayaan individu. Dengan demikian diharapkan mampu mengidentifikasi dan mencegah penyebaran hoaks.
Kemampuan berpikir kritis yang merupakan bagian dari literasi media harus diasah sejak dini. Kemampuan berpikir kritis memiliki makna kemampuan untuk dapat membuat penilaian-penilaian yang masuk akal. Selain itu, sikap skeptis yang positif atau meragukan sebagai bagian dari berpikir kritis juga perlu untuk dilestarikan.
Dengan demikian, seberat apapun tantangan gangguan informasi karena perkembangan teknologi yang semakin canggih, diharapkan masyarakat semakin cerdas dan dapat dengan mudah mengenali gangguan informasi. Tentu saja tidak mudah percaya dengan konten-konten di media sosial yang belum terverifikasi kebenarannya, apalagi menyebarkan informasi yang belum tentu kebenarannya.
COPYRIGHT © ANTARA 2023
0 comments:
Post a Comment