Jakarta (ANTARA) -
 
Soal pola kerja, sebelum pandemi lebih banyak dengan pertemuan dengan interaksi langsung memanfaatkan dokumen-dokumen fisik dan berbagai hal diselesaikan hanya ketika sudah ada pertemuan langsung.
 
Ketika pandemi mewabah pola kerja pun berubah. Saat itu pertemuan fisik dan interaksi langsung harus ditekan seminimal mungkin agar tidak terjadi transmisi penularan COVID-19.
 
Hak itu akhirnya juga ikut mengubah pola kerja, bagaimana kerja dan tugas-tugas dapat diselesaikan meski dalam kondisi tidak bisa masuk kantor untuk bekerja.
 
Pola kerja daring pun mulai tumbuh, dari rapat daring, dokumen digital, sistem dan aplikasi layanan yang dulu harus mengakses meja layanan kantor berubah ke model digital hingga tanda tangan elektronik pun mulai dimanfaatkan.
 
Ketika pandemi, model kerja daring dan elektronik ini tidak hanya diaplikasikan di perusahaan-perusahaan swasta tetapi juga di instansi pemerintahan. Para aparatur sipil negara (ASN) saat pandemi COVID-19 diberlakukan kerja di kantor atau WFO dan sebagian WFH atau bekerja dari rumah.
 
ASN yang bekerja dari rumah tentunya saat itu tidak terikat harus ke kantor untuk menyelesaikan tugas-tugasnya, cukup memanfaatkan media daring dan perangkat yang mendukung untuk bekerja tanpa harus ke kantor.
 
Sekarang, pandemi sudah melandai, kehidupan kembali mulai normal, pertemuan fisik sudah bisa diberlakukan kembali, model kehidupan normal baru diterapkan.
 
Cara kerja lama pun dengan bekerja dari kantor tentunya juga sudah dapat diberlakukan meski tetap menerapkan protokol kesehatan.

Namun, perkembangan pola kerja yang positif dan efisien saat pandemi lalu seperti memanfaatkan media daring apakah memang harus di tinggalkan dan kembali menerapkan pola kerja sebelum pandemi secara penuh.
 
Hal itu lah kemudian yang memunculkan wacana bekerja tak terikat kantor atau bisa bekerja dimana saja, atau saat ini dikenal dengan sebutan WFA (work from anywhere). Termasuk, WFA ini juga diwacanakan diterapkan untuk para aparatur sipil negara yang notabene bersinggungan langsung dengan pelayanan publik.
Saatnya beralih
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman mengapresiasi wacana diskursus ASN bekerja dari mana saja atau WFA merujuk pola WFO-WFH yang telah diterapkan selama pandemi.
 
Pola kerja ASN saat pandemi ternyata menunjukkan ada pola dan sistem kerja yang memang efektif dan efisien dilakukan ketika tidak harus terikat kantor, atau bekerja dari mana saja dengan memanfaatkan teknologi daring.
 
Refleksi dan pengalaman sistem kerja saat pandemi itu memungkinkan untuk diterapkan meski ke depan pandemi sudah tidak ada lagi. Namun peralihan ke bentuk WFA tidak bisa langsung bisa diimplementasikan begitu saja.
 
KPPOD memberikan beberapa catatan agar pola dan sistem kerja WFH untuk ASN bisa diterapkan secara efisien dan efektif. Agar bisa diterapkan, pemetaan terhadap seluruh aktivitas ASN perlu dilakukan baik di pusat maupun daerah.
 
Tujuannya agar dapat mengelompokkan kegiatan-kegiatan mana saja yang lebih efektif jika diberlakukan sistem kerja WFA yang memanfaatkan teknologi daring. Hal itu diperlukan karena tidak semua kerja-kerja ASN dapat dilakukan dari mana saja dan memanfaatkan daring.
 
Contohnya seperti pengurusan perizinan, tahap pengajuan permohonan, pemberkasan dokumen dan proses administrasi bisa menerapkan teknologi daring dan dokumen digital. Maka pekerjaan ASN yang berhubungan dengan hal tersebut kemungkinan bisa memanfaatkan model WFA.
 
Ketika proses perizinan memasuki tahap verifikasi lapangan, tentunya membutuhkan interaksi langsung, tidak bisa diganti dengan interaksi daring dan platform digital. Oleh sebab itu lah pemetaan ASN, kegiatan kerja sampai sistem kerja diperlukan sebelum WFA benar-benar diterapkan.
 
Untuk melakukan pemetaan itu butuh asesmen yang sistematis. Jangan sampai menerapkan sistem bekerja dari mana saja tetapi tidak pas untuk konteks kegiatan tertentu.
 
Catatan selanjutnya, Indonesia tentunya berhadapan dengan daerah yang beragam kondisi mulai dari kesiapan SDM, infrastruktur, hingga topografi daerah. Hal itu juga perlu asesmen, terkait persiapan dan kebutuhan daerah, serta penerapan WFA tersebut mesti berlaku secara asimetris, tidak sama rata.
 
Misalnya, ASN untuk Indonesia bagian tengah atau bagian timur jangan diberlakukan sama dengan yang ada di Jawa sistemnya. Agar penerapan asimetris bisa berjalan dengan baik, pemerintah pusat terutama Kementerian PAN-RB dan juga Kementerian Dalam Negeri juga harus membuat peta jalan pola kerja baru itu.
 
Pada peta jalan atau roadmap perlu juga ditentukan target waktu mulainya pemberlakuan model kerja WFA. Target waktu untuk setiap daerah pun harus berbeda-beda sesuai dengan kesiapan daerah.
 
Sistem kerja WFA jangan berlaku sama rata, kalau berlaku sama rata dikhawatirkan tidak akan efektif. Banyak contoh yang dilakukan secara serentak nasional dan sama rata ternyata implementasinya berbeda-beda.
 
Catatan selanjutnya kalau bekerja dari mana saja artinya ada satu pra kondisi yang harus disiapkan. Prakondisi yang pertama adalah soal infrastruktur.

​​​​​​Infrastruktur itu terkait dengan internet, perangkat kerja yang mesti benar-benar diperhitungkan termasuk sistem dan aplikasi daring yang digunakan.
 
Kemudian, prakondisi selanjutnya soal ASN, yakni pemetaan kesiapan SDM juga harus menjadi perhatian, seperti soal kompetensi, kapasitas dan mental ASN.
 
Mental ASN sangat berpengaruh karena kalau bekerja dari mana saja, tentu yang bisa mengontrol kerjanya hanya ASN tersebut. Agar WFA efektif berjalan, pengawasan dan penilaian ASN tidak lagi dengan absensi kehadiran tetapi berbasis kinerja sesuai target harian, mingguan sampai target kinerja jangka panjang.
 
Tidak lupa, payung hukum sistem kerja baru itu juga mesti dipersiapkan mulai dari tingkat nasional, kemudian model teknis bisa diatur lebih lanjut dalam bentuk peraturan kepala daerah.

Baca juga: Kemendagri ajak ASN transformasi birokrasi pelayanan publik efektif
 
Penyederhanaan birokrasi dan ekosistem digital
Kementerian PAN-RB menyebutkan saat ini sistem kerja hierarkis atau berjenjang kini tidak lagi menjadi sistem kerja aparatur sipil negara (ASN) sebagai penyelenggara pelayanan.
 
Jenjang birokrasi yang disederhanakan, kerja tim yang mengedepankan keahlian, serta dengan dukungan teknologi, ekosistem digital dalam pemerintahan bisa segera terwujud.
 
"Adanya ekosistem digital, yang dibutuhkan adalah memuat seluruh bagian pengelolaan organisasi dan 'human capital' ASN, serta dapat digunakan seluruh ASN tanpa terkecuali dimanapun, kapanpun, melalui perangkat apapun yang dimiliki," kata Sekretaris Deputi bidang Kelembagaan dan Tata Laksana Kementerian PAN-RB T Eddy Syah Putra.
 
Penguatan sistem kerja baru itu diperkuat dengan terbitnya Peraturan Menteri PANRB No. 6/2022 tentang Pengelolaan Kinerja Pegawai ASN, serta Nomor 7/2022 tentang Sistem Kerja pada Instansi Pemerintah untuk Penyederhanaan Birokrasi. Dua aturan baru itu disosialisasikan secara bertahap kepada seluruh instansi pemerintah.
 
Dua beleid itu mewajibkan seluruh instansi pemerintah segera menyesuaikan sistem kerja melalui penyempurnaan mekanisme dan proses bisnis birokrasi. Sistem kerja saat ini harus berorientasi pada percepatan pengambilan keputusan dan perbaikan pelayanan publik, dengan optimalisasi sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE).
 
Dukungan digital sangat dibutuhkan dalam proses transformasi mekanisme tata kelola pemerintahan. Mekanisme kerja baru perlu diterapkan guna membangun budaya kerja baru yang lebih relevan pada era digital saat ini.
 
Dengan adanya ekosistem digital yang baik, jarak, lokasi, waktu, dan alat tidak menjadi halangan ASN serta instansi pemerintah untuk memberikan pelayanan prima. Pejabat fungsional juga bisa ditugaskan secara fleksibel, "changeable", dan "moveable" dengan pengelolaan kinerja yang akuntabel.
 
Pada Peraturan Menteri PANRB Nomor 6/2022, perilaku kerja harus sesuai dengan nilai dasar BerAKHLAK, yang merupakan singkatan dari berorientasi pelayanan, akuntabel, kompeten, harmonis, loyal, adaptif, dan kolaboratif. Ruang lingkupnya pun tidak hanya PNS, tetapi juga pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang juga berstatus ASN.
 
Kemudian, berdasarkan Peraturan Menteri PANRB Nomor 7/2022, sistem kerja adalah serangkaian prosedur dan tata kerja yang membentuk suatu proses aktivitas pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi.
 
Eselon II membawahi tim kerja yang sesuai dengan strategi pencapaian target. Secara umum, mekanisme kerja ini terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
 
Pejabat fungsional bisa melaksanakan tugas dari unit kerja atau pejabat setingkat eselon II lainnya, selama tugas tersebut sesuai dengan fungsi dan mendukung kinerja organisasinya. Pelaksanaan tugas lintas unit itu harus disertai dengan surat tugas.
 
Fleksibilitas kerja ASN menjadi salah satu fokus dalam aturan yang baru diteken oleh Menteri PANRB Tjahjo Kumolo ini. Dalam tahap pelaksanaan, pejabat eselon II bisa membuka dialog kinerja dengan tim, hingga melakukan koreksi strategi sesuai dinamika pelaksanaan.
 
Sementara ketua tim kerja, pejabat fungsional, dan pelaksana, bisa mengoordinasikan kegiatan, melakukan pertemuan rutin, laporan capaian target, konsultasi masalah dengan pemberi tugas, memberikan ide, hingga memastikan pencapaian target individu.
 
Namun peraturan tersebut masih bisa berubah seiring perkembangan dan kondisi di masing-masing unit kerja. Dengan aturan itu, ASN tidak lagi harus bekerja dalam kotak-kotak tertentu, melainkan fokus pada tujuan organisasi dengan cara yang lebih fleksibel.

Editor: Joko Susilo
COPYRIGHT © ANTARA 2022